Di Dewasakan Oleh Keadaan
*Karya: Anis Hilda
___________________
Di pagi hari yang cerah sebelum Hilda berangkat sekolah, ia berpamitan terlebih dahulu pada ayah dan ibunya.
“ibu, ayah, Hilda berangkat sekolah dulu ya” ucap Hilda
“tunggu dulu nak , ibu dan ayah mau bicara sebentar” perintah ibu Hilda, namanya Yanti
“ada apa bu” jawab Hilda
“ayah sama ibu mau cari uang di tempat yang jauh, jadi Hilda sama adik tinggal di Madura, nanti kalau ayah dan ibu sudah bekerja Hilda mau di beliin Ipad, mau gak?” ucap Yanti pada anaknya.
“beneran janji ya bu” Yanti mengangguk dan tersenyum.
“kapan berangkat ke Madura, aku rindu sama kak Layla” ucap Hilda, dia ingin cepat-cepat berangkat ke Madura dan bertemu dengan kakak perempuannya yang tinggal di Madura.
“satu minggu lagi, ya sudah cepat berangkat sekolah nanti telat” ucap Yanti pada Hilda. Hilda harus rela pindah sekolah saat duduk dikelas 3 SD dan pindah ke desa yang baru. Satu minggu kemudian keluarga Hilda berangkat ke Madura dengan bersepeda motor.
Di Madura, orang tua Hilda hanya tinggal beberapa hari sebelum berangkat bekerja di negri orang. Disana aktivitas Hilda harus berubah, yang dulunya bangun siang, mandi, terus sekolah diantar oleh ayah, berbeda dengan sekarang Hilda harus bangun pagi, menyapu halaman, mandi, berangkat sekolah dengan jalan kaki. Itu memang sangat berbeda dengan aktivitas Hilda yang dulu.
Di pagi hari, pada hari rabu, orang tua Hilda sudah bersiap-siap ingin berangkat kerja di negri orang. Sebelum mereka berangkat, Yanti menggendong Nada -adik dari Hilda- yang masih berumur 4 tahun. Yanti mencium pipi Nada dengan penuh kasih sayang, begitu juga dengan sang ayah, dia juga melakukan seperti apa yang di lakukan Yanti pada anak-anaknya. Saat mobil yang di pesan ayah datang, Yanti memberikan Nada pada neneknya, ayah dan ibu Hilda juga berpamitan pada kakek dan nenek.
“Daadaaaaa…. ” Hilda melambaikan tangannya saat ayah dan ibunya berangkat dan semakin menjauh dari pandangan Hilda. Nada yang berusia 4 tahun, yang masih haus kasih sayang ayah ibu , kini harus berpisah dengan ayah ibunya.
Hari demi hari Hilda Hilda lalui dengan sabar, hingga tidak terasa sudah satu tahun dia berada di Madura, dia sudah mendapat barang yang dia inginkan (Ipad). Orang tua Hilda menepati janjinya kepada Hilda. Hilda juga berbagi dengan adiknya.
Hari- hari ia lalui dengan kegiatan seperti biasanya, Hilda bermain masak-masakan bersama Nada dan Feli, anak tetangga, mereka bertiga bermain di belakang rumah. Saat ini kakek Hilda kedatangan tamu, nenek Hilda juga sibuk membeli sesuatu kerumah tetangga, saat Hilda asik bermain tiba-tiba kakek Hilda berteriak mengucapkan lafadz “Ya Allah” Hilda yang mendengar teriakan itu langsung melihat kedepan rumah, disana Hilda Melihat kakek yang terduduk di lantai sambih menangis, ia juga melihat ada beberapa tamu dan saudara ayahnya.
“ada apa Fel?” Tanya Hilda kepada Feli “gak tau” jawab Feli dari kejauhan. Hilda melihat neneknya berlari menuju rumah, sesampainya dirumah, nenek Hilda juga ikut berteriak dan pingsan. Hilda yang tidak mengerti apa-apa hanya bisa terdiam sambil memegang tangan adiknya. Tetangga dan saudara pun berdatangan membuat Hilda semakin bingung dengan kedaan tersebut. Hilda yang ingin menghampiri neneknya yang pingsan dicegah oleh seseorang yang jelas Hilda tidak mengenalnya, orang tersebut memerintah Hilda agar pergi kerumah tetangga bersama adiknya sampai keadaan membaik. Hilda menggendong adiknya dan pergi kerumah tetangga sesuai perintah orang tersebut. Sesampainya dirumah tetangga, dia melihat rumah kediamannya ramai dengan orang, ia sebenarnya ingin bertanya tapi tidak berani.
“Hil…. Sini masuk dulu nak, duduk di dalam” ucap bibi Linda pada Hilda “iya, Biii…”jawab Hilda. Hilda pun memasuki rumah bibi Linda dan duduk di ruang tamu sambil melihat rumahnya dari jendela.
“itu Adi… katanya masuk penjara?” ucap seseorang pada orang yang bertanya, Hilda mendengar percakapan. Tiba-tiba air mata Hilda menetes, dia menangis dalam diam, dadanya begitu sakit, ingin berteriak, saat ini dia sedang berada di titik yang paling lemah, dia sekarang membutuhkan pelukan hangat dari seorang ibu, tapi itu sangat mustahil baginya. Hilda melirik adiknya, ia berpikir apakah saat ini adiknya merasakan apa yang ia rasakan.
“kakak kenapa? kok nangis“ tanya Nada pada Hilda, Hilda tidak menjawab pertanyaan adiknya, ia tetap menangis dalam diam. Sesudah keadaan membaik, kakek dan nenek Hilda juga sudah membaik. Hilda dan Nada sudah bisa pulang Kerumahnya.
“Hil…. Hilda…, kesini” perintah kakak sepupu pada Hilda, Hilda yang masih bermain bersama temannya pun langsung mendatangi kakaknya. “ada apa kak ?” Tanya Hilda “hampiri nenekmu yang ada di rumah Feli” ucap kakak itu. Hilda langsung bergegas menghampiri neneknya yang berada di rumah feli. Sesampainya dirumah Feli, Hilda melihat nenek yang sedang menggendong adik sambil menangis.
“Hil …. Ayahmu terkena masalah itu sebab ibumu, ibumu jahat”
“jangan bilang-bilang sama kakamu ya, agar gak kepikiran, nanti kalau sudah tahu takut tidak betah di pondoknya” ucap nenek pada Hilda. Hilda masih bingung dengan apa yang dikatakan oleh nenek, tentang ayah dan ibu, dia hanya bisa diam.
“apa maksudnya sebab ibu” batin Hilda bertanya.
1 jam kemudian setelah keadaan sudah sangat membaik, Hilda dan nenek bisa pulang kerumahnya. Sesampainya dirumah, nenek menyuruh Hilda dan adiknya tidur lebih awal.
Keesokan harinya, Hilda merasa hari yang biasanya bahagia, cerah, di awali dengan senyuman, semua hilang tak tersisa, saat Hilda mendengar kabar bahwa ayah dan ibunya bercerai, hatinya sangat terluka, impian yang ia impikan tentang keluarga yang tentram hancur begitu saja, sekarang ia hanya bisa melihat keluarga ayah dan keluarga ibu bermusuhan, menelpon ibu pun sulit baginya karena tidak di izinkan.
Hari demi hari ia jalani dengan sedikit perubahan, ia merasa kasihan pada adiknya, saat anak-anak lainnya yang berumur 4 tahun masih merasakan kasih sayang ayah dan ibu, tidak dengan adiknya, adiknya harus merasakan kurangnya kasih sayang ayah dan ibu, dan belum bisa merasakan hangatnya berkumpul dengan keluarga yang tentram.
Hilda sekarang harus berubah, dia harus menjadi dewasa, dia harus bisa menjadi kakak juga ibu bagi adiknya, kadang Hilda menabung untuk membeli sesuatu yang inginkan adiknya, agar tidak berbeda dari teman-temannya. Hilda juga tidak pernah meminta sesuatu pada nenek dan kakek meski dia menginginkannya. Dia juga menabung untuk kebutuhannya meski uang saku sehari-harinya tidak begitu banyak, tapi ia sadar bahwa kecukupan nenek dan kakeknya yang dulu dengan sekarang sangat berbeda.
“kak Hilda ayo main” ucap Nada pada Hilda. “gak dulu dek, kakak lagi gak mau main” Hilda menolak, Nada menangis dengan kencang karena Hilda menolaknya.
“Hil…. Kenapa adikmu menangis ?” Tanya kakek, “adek ngajak aku main , tapi aku gak mau, karena masih capek” ucap Hilda, “kamu ini, suka sekali melihat adikmu menangis, cuma di ajak main kamu gak mau, cepat main kasihan adikmu” kakek memarahi Hilda. Hilda cuma bisa pasrah, ini sudah biasa bagi Hilda, kadang kakek memarahi dengan perkataan yang menyakitkan hati, apa lagi, saat nama ibu dijadikan bahan memarahinya, itu sangat membuat hati Hilda rapuh.
Kadang Hilda merasa iri pada adiknya, adiknya selalu dimanja oleh kakeknya, selalu dibawakan oleh-oleh saat kakek pulang dari perjalanan. Hal sepele pun jika adiknya menangis pasti Hilda yang akan di marahi. Adiknya berangkat sekolah pun diantar oleh kakek, sedangkan Hilda. Dia tidak pernah diantar satu kali pun, itu membuat Hilda ingin kembali ke masa lalu dan tidak mengizinkan ayah dan ibunya berangkat kerja, jika akhirnya seperti ini.
Hilda harus mengalah pada adiknya dalam hal apa pun, jika adiknya ingin apa yang dipegang Hilda, Hilda harus memberikannya, sebab, jika tidak dia akan di marahi oleh kakeknya. Meskipun begitu Hilda tidak pernah membenci adiknya, Hilda harus berpikir dewasa, karena keadaan dulu dan sekarang sangatlah berbeda.
Pernah di suatu hari Hilda merasa sangat berada di titik paling lemah, impiannya hancur begitu saja, dimana hari itu, hari yang sangat bahagia bagi pejuang ilmu, tapi tidak untuk Hilda, hari itu adalah hari yang sangat menyedihkan baginya, dihari itu, ia merasakan sangat iri pada teman-temannya, dimana hari itu semua wali murid menghadiri acara kelulusan anaknya dan mendampingi anaknya, Hilda sangat ingin seperti mereka, tapi ia sadar, ia ingin seperti mererka sangatlah mustahil, itu membuat hari yang seharusnya sangat spesial, semua berubah menjadi hari yang menyedihkan baginya. Sejak saat itu Hilda sangat membenci kata “PERCERAIAN” hanya karena kata tersebut hidupnya hancur, keluarga hancur, impian hancur, cita-cita hancur, harapannya hancur. Tidak ada yang tersisa karena kata tersebut Hilda dan saudaranya kekurangan kasih sayang dari orang tua.
___________________
*Siswi Kelas XB MA Miftahul Ulum Al-Azizah
keren