Cerpen Karya Siswa

Penyesalan Seorang Ibu

*Karya: Ima_Mha

____________

Kupandangi bocah berumur 5 tahun, yang sudah tidak berdaya di brankar. Alat medis yang mula menempel ditubuhnya, kini sudah dilepas. Meninggalkan kain putih yang menutupinya sampai dada. Tiga hari sebelumnya. “bunda….. dada Naufal sakit” keluh Naufal, anak angkat peninggalan suamiku, yang membuatku enggan menghiraukannya. Melihatnya, membuatku kembali mengingat kecelakaan yang menimpanya Ilham suamiku satu tahun lalu. Karena berusaha mnyelamatkannya yang hampir tertabrak truk, mas Ilham sampai merelakan nyawanya dan menggantikan dirinya dengan Naufal hingga akhirnya ajal menjemput. Menjadikan kebencianku semakin tersulut pada Naufal. Dari awal, sejak mas Ilham mengadopsinya, aku memang sudah tidak suka pada anak itu, karena mas Ilham lebih mementingkan Naufal dari pada aku – istrinya.

“oles saja pakai minyak angin” sahutku acuh, kudengar ia menghela nafas lalu pergi entah kemana. Aku tidak peduli. Malamnya, Naufal kembali menghampiriku, mengganggu waktu tidurku. “Bunda …………. Dada Naufal masih sakit” keluhnya lagi, kali ini dengan suara palau. Aku masih diam lebih tepatnya malas, dan memilih menutupi tubuhku dengan selimut. “bunda hikss… Naufal mau tidur sama bunda, dada Naufal sakit bunda……hiks” ujarnya sesenggukan. Aku membelak tak suka dengan ujarnya.

“ibu………” teriakku seraya menjauh dari Naufal yang hendak menyakitiku sambil memegangi dadanya. “Ada apa malam-malam teriak-teriak” Tanya ibu tergopoh, dengan sorot mata khawatir. “bawa anak ini menjauh dariku. Aku tak mau melihatnya” titahku dengan nada sarkas. Tanpa banyak bertanya, -Nurma- ibuku melakukan intruksiku. “nggak mau, Naufal mau disini saja nemenin bunda, omah, Naufal takut sendiri” rengeknya menepis tangan ibu yang hendak menggendongnya. Ibu hanya menatapnya nanar, tak berani menyahut. “bunda…… hiks.. hiks…” bocah itu sudah berlinang air mata. Aku memutar bola mata jengah lalu kembali memejamkan mata. “bunda …….. hiks omah turunin Naufal” teriknya, mungkin ibu sudah menggendongnya untuk ke luar. Entahlah aku tak peduli. Keesokannya, “Sandra, asma Naufal kambuh, ibu mau minta uang buat bawa Naufal berobat” terang ibu pagi itu sebelum aku berangkat ke butik. “halah, sebentar lagi juga pasti sembuh. Ibu enggak usah khawatir” tukasku tanpa memberi ibu uang sepeserpun. “sudahlah aku berangakat ke butik dulu” ujarku sambil menyalimi tangan ibu yang sudah keriput itu. Lalu pergi meninggalkannya yang masih termangu di tempat.

Usai kejadian pagi itu, aku tak lagi mendapati Naufal yang biasanya selalu menjadi penggangu segala aktivitasku tadi pagi. Ibu pun menjadi jarang bicara hanya menyahuti seperlunya. Aneh, namun sama sekali tak membuatku risau. Seperti biasa setelah sarapan, aku lekas pergi menuju butik, tanpa memikirkan keanehan orang rumah. Sesampainya di butik, ponselku bergetar menampilkan nama bang Farhan–kakak sulungku. Aku hanya meliriknya sekilas, lalu kembali melanjutkan aktivitasku yang sempat tertunda. Tidak berniat menerima telponnya. “San…. angkat saja, siapa tau penting” tegur – Rani – salah satu rekan kerjaku. Aku berpikir sejenak lalu kuputuskan untuk mengangkat panggilan yang begitu mengusik keheningan butik siang tadi. “ya… kenapa?” Tanya to the point “Naufal kritis” sahut bang Farhan parau. Sama sekali tak membuatku khawatir. “Abang urus saja tuh anak, aku masih sibuk” usai mengucapkannya kuputuskan sambungan sepihak.

Tepat pada pukul 15.00 ponselku kembali bergetar. Kali ini bukan bang Farhan. Melainkan Amira –adik bungsuku. Saat itu jantungku berdegup hebat, fikiranku sudah dipenuhi kekhawatiran pada bocah itu. Entah kenapa, aku sangat ingin menemuinya. Tanpa fikir panjang aku pun segera mengangkat telfon darinya “kak…… hikss….” Sapa Amira sesenggukan diseberang telfon. Aku mengernyit bingung, perasaan takut menyelimuti benakku. “N…. Naufal …… hikss…..”

“kenapa Naufal? ada apa dengan dia” sentakku tak mampu menutupi ke khawatiran. “sebaiknya kau cepat kemari” alih bang Farhan geram. Lalu memutus sambungan telfon. Kutinggalkan butik yang ramai pengunjung itu, beralih menaiki mobil merah memecah jalanan yang tak begitu padat. Sesampainya, aku parkirkan mobil dipelataran rumah sakit yang sudah dikonfirmasikan oleh Amira diroom chat. Bergegasku menuju ruangan tempat Naufal dirawat, didepan ruangan itu sudah ada Amira, bang Farhan ,-Adinda- istrinya yang terlihat cemas.

“dimana Naufal ?” tanyaku pada mereka yang tak mengindahkan pertanyaanku. Ibu, Amira kak Dinda, sudah menangis tersedu, bang Farhan diam memijit pangkal hidungnya. Membuat rasa takut semakin menghantui . aku menggeleng pelan, lalu memilih memasuki ruangan ini. Lututku lemas seketika mendapati Naufal yang sudah tidak bernyawa.

Ibu masuk dikuti bang Farhan dibelakangnya. Amira dan kakak dinda masih diluar. Wanita paruhbaya itu menyorot tajam kearahku. Untuk kali pertama aku melihatnya, membuat nyaliku menciut. Namun sebisa mungkin aku menahannya. Dia berjalan pelan lalu menyerahkan secarik kertas dengan kasar kearahku. Aku mengernyit bingung. Tidak ingin digelayuti rasa penasaran, lekas kubuka kertas yang terlipat rapi itu. Aku menganga lebar. “kanker paru-paru?” ucapku terbata saat membaca isi kertas tadi. Ku pandangi wajah ibu yang terlihat muak denganku. “kenapa ibu baru memberitahuku” hardikku sedikit kesal. ibu diam tak menggubris.

“bagaimana mau memberi tahu, kamu saja tak peduli padanya, untuk apa kau menangis, harusnya kamu senang, anak yang menurutmu menyusahkan itu sudah tidak ada lagi didunia ini. Ibu macam apa kamu…. Hah entahlah percuma berbicara sama orang yang berhati batu” seloroh bang Farhan yang sangat menohok hatiku. Pria itu bahkan tak ingin menatapku yang berdiri disampingnya. “puas kamu Sandra, hm… kau puas… hikss…. Bela-belain dia nungguin jengukan kamu, ngelarang ibu marahin kamu, tapi apa? Hiks…. Kamu bahkan tak pernah menganggap dia ada. Hiks…… anak tak berdosa itu yang kamu dzolimi. Benar-benar tak berhati nurani” timpal ibu seraya menunjuk kasar wajahku. Aku tertegun.

Aku menggeleng  “nggak, anak ku masih hidup, dia masih hidup, nggak mungkin” ku hapus kasar air mata yang lolos keluar membasahi pipi. Ku pejamkan mata berharap semua ini hanyalah mimpi, namun tak sesuai ekspektasi, ini nyata dan benar adanya, Naufal benar- benar meninggalkanku. “Naufal… bangun nak, ini ibu, kamu bilang ingin peluk ibu. Bangun jangan tidur terus” kepalanya ku usap lembut, seraya mengguncang pelan tubuhnya. Tetap pada yang semula Naufal benar-benar sudah tiada. “Naufal bangun Naufal, maafin ibu” teriakku masih mengguncang tubuh ringkihnya. “aku menyesal …. Hiks…. Aku menyesal… arghhh….” Ku jambak rambut kuat-kuat, kakiku sudah tak mampu berdiri tegak membuatku harus bersimpuh diatas lantai. Aku kehilangan senyumnya, kehilangan suara lucunya, aku kehilangan dirinya. Bocah yang biasa merengek meminta gendong, meminta disuapin, meminta bermain bersama, kini sudah pulang ke tempat-Nya. Aku kehilangan semuanya. Keluargaku sudah tak mau menganggapku. Aku benar-benar kecewa dan benci dengan keadaan ini.

Selamat jalan anakku, selamat tinggal keluargaku.

Aku menyesali perbuatanku

______________________

*Siswi Kelas XB MA Miftahul Ulum Al-Azizah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *