Cerpen Karya Siswa Literasi

STUDY

*Oleh: Halimatus Sa`diah

______________________________________________________________________________________________________

Di sebuah desa, terdiri sebuah keluarga yang terdiri dari lima orang, diantaranya adalah Ayah, Ibu, Dinda (anak pertama), Dea (anak kedua), dan Dio (anak ketiga). Ayah berprofesi sebagai tukang batu yang bekerja di luar kota. Ibu memiliki sebuah toko kecil hanya sekedar untuk membantu ekonomi keluarga. Dinda yang masih berumur 21 tahun masih meniti kariernya dengan membuka orderan kue brownis. Sementara itu Dea yang berumur 16 tahun masih sekolah di pesantren. Sedangkan Dio yang berusia 10 tahun masih duduk di bangku SD.

Saat liburan pesantren, biasanya ayah juga pulang untuk menghabiskan waktu dengan keluarga dan istirahat dari kerjanya. Namun pada liburan kali ini, Ayah tidak pulang karena pekerjaannya belum selesai. Hari itu toko ibu lumayan banyak pembeli dan Dinda pun mendapat beberapa orderan kue. Sebagai anak yang baik, Dea turut membantu ibunya melayani pembeli. Jam menunjukkan pukul 12.00 WIB, Dio pulang dari sekolah dan langsung mengucapkan salam “Assalamualaikum!”. Serentak ibu dan Dea menjawab “Waalaikum Salam!”. Setelah mencium tangan Ibu dan Dea, Dio Langsung mengambil Hand Phone nya untuk menonton Video.

Selang beberapa saat, Dio tiba-tiba berteriak, “Bu, mau makan!”, mendengar hal itu, Ibu menyuruh Dea yang ada disampingnya untuk mengurus Dio. “Kak! Tolong uruskan adikmu sebentar ya!” pinta Ibu pada Dea. Dea mengangguk kemudian berjalan menuju dapur. Sebelum itu Dea bertanya pada Dio perihal apa yang ia ingin makan. “Dek! Kamu mau makan sama apa?”. Dio menjawab tanpa menoleh ke arah Dea dan terus fokus ke HP-nya, “sama apa aja, asal sama sambel!”. Dea yang tahu kalau tidak ada sambal pun berkata “gak ada dek! Adanya saus sambal aja! Gimana?”. Dio tidak mempermasalahkan hal itu “oke kak!” upcapnya.

Selang beberapa detik kemudian, dia datang dengan sepiring nasi dengan lauk berupa ayam goreng, hati ayam dan tak lupa saus sambal. Setelah itu Dea duduk di dekat Dio untuk menyuapinya. Ketika satu suapan telah sampai ke mulut Dio, Dio yang tanpa sengaja melihat piring tersebut berkata dengan nada marah “loh kak! Kok ada hati ayam di piringnya? Aku kan ga suka” mendengar nada suara Dio yang naik  oktaf, Dea tidak suka tetapi ia mencoba menahan amarahnya “Tapi dek, ini kan gak kakak suapin ke kamu!”. Dio tetap kekeh dengan ucapannya “Gak mau! Pokoknya ganti piring!”

Sebelum ini mood Dea memang sedang buruk, jadi sekarang emosinya mudah meledak. Mendengar adiknya mengatakan hal demikian, emosinya tersulut. “Oke! Tapi kamu makan sendiri! Kakak gak mau nyuapin kamu lagi!”. Dio yang merasa tidak bersalah manyaut “Oke! Aku bisa kok!”. Dea semakin geram “Dasar anak manja!” ucap Dea kemudian pergi. Ia mengambil nasi baru dengan lauk yang baru lalu diberikannya pada Dio.

Setelah itu Dea duduk di sofa yang berjarak satu meter dengan Dio. Ia memainkan gadgetnya tetapi pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan, kekesalan dan keirian. Dea mengingat masa lalunya dimana dulunya ia adalah anak yang mendiri bahkan sejak umur 6 tahun dia sudah makan sendiri tanpa bantuan ibunya. Dari kejadian itu Dea jadi iri pada adiknya yang keinginannya selalu diberikan oleh orang tuanya. Dea jadi ingat dengan kata-kata yang sering ibunya ucapkan “Kamu jangan dulu ya nak, ngalah dulu sama adek!” dan “Kasian kakak mu, kamu nanti dulu ya!”. Kira-kira itu yang terlintas di fikiran Dea. Dea juga tidak pernah menolak atas apa yang di pilihkan ibunya, dan juga ia tidak pernah melawan atas apa yang di katakana ibunya.

Dea jadi ingat bahwa dulu di umur 6 sampai 10 tahun ia sering di tinggalkan di rumah. Sampai-sampai dulu ia tidak memiliki teman di karenakan ia memiliki penyakit kulit. Hal itu karena ia dulunya masih kecil dan tidak terlalu pandai merawat diri sedangkan ibunya sering meninggalkannya dan akhirnya Dea menjadi anak yang tidak terurus. Pikiran Dea kalut, emosinya tidak stabil.

Di tengah berkecamuknya hati dan pikiran, tiba-tiba Ibu datang dan duduk di samping Dea. Dea melihat wajah adik dan Ibunya bergantian. Selang lima detik kemudian Dea berkata dengan emosi dan amarah yang ada dalam hatinya pada ibunya “Bu! Adek tuh gak usah terlalu di manja! Harusnya di umur segini adek udah mandiri! Dia itu cowok! Harus gentlemen! Dulu Ibu sering nyubit sambil marahin aku! Kenapa kalau sama Dio beda, Bu? Bahkan ketika Dio marah sama Ibu kenapa Ibu cuman diam? Dea gak mau kalau Dio jadi anak cemen yang takut sama temennya dan lebih berani sama orang tuanya!” Dea menghela nafasnya secara kasar, lalu berkata lagi “Maaf Bu, Dea ke kamar dulu” Dea masuk ke kamarnya. Perasaan Dea kini di kuasai oleh amarah yang menggebu. Ibu terdiam mendengar ucapan anaknya yang kini telah masuk ke kamarnya.

Ibu masih terkejut dengan apa yang tadi Dea ucapkan, meski tinggi suara Dea tidak naik satu Oktaf pun, Ibu tahu bahwa sebenarnya Dea sedang marah, kesal dan cemburu pada adiknya. Sekarang Ibu mengerti bahwa selama ini Dea yang tidak pernah melawan, Dea yang selalu berusaha membuat ia bangga dengan prestasi, dan Dea yang selalu mengalah telah mengeluarkan apa yang di pendamnya. Setetes cairan bening jatuh dari mata Ibu kemudian di susul beberapa tetesan cairan bening yang jatuh secara bergantian. Ibu menangis, air matanya sudah tak tertahankan. Dinda yang melihat itu pun menangis menghampiri dan membawanya menuju kamar. Dia ikut menyusul Ibu dan Dinda menuju kamar, ia meninggalkan nasi yang belum ia habiskan.

Di sisi lain, Dea tengah duduk termenung dengan air mata yang berjatuhan. Ia menyesali perkataannya. Hanya ada Dea sendiri di kamarnya. Ia meratapi perbuatannya barusan. Selama semenit kemudian, Dea beranjak dari kasurnya seraya menghapus jejak air matanya lalu berjalan menuju kamar Ibunya. Saat tiba, di lihatnya Ibu seperti habis menangis. Di sisi Ibu ada dinda dan Dio. Dengan ragu Dea menuju Ibunya dan duduk di depan kakinya.

“Ibu maafin Dea ya! Tadi Dea emosi! Dea gak bermaksud bikin Ibu sakit hati! Maafin Dea ya, Bu!” ucapm  Dea dengan tulus. Ia memeluk kaki Ibunya. Kemudian Ibu mengusap lembut pucuk kepalanya, dan berkata “Nak! Apapun yang terjadi jangan sampai gak rukun ya! Bahkan jika kalian sudah memiliki keluarga masing-masing kalian harus saling menyayangi satu sama lain! Bicarakanlah masalah atau kesalah pahaman yang suatu saat mungkin akan terjadi dengan baik! Ibu tidak ingin melihat anak-anak Ibu saling membenci dan bermusuhan satu sama lain! Kalian mengerti?!”. Dinda, Dead an Dio menjawab secara bersamaan “mengerti, Bu”. Mereka berjanji pada Ibu untuk tidak bertengkar lagi. Dio juga berjanji untuk lebih mandiri.

Sejak saat itu mereka menjadi msemakin dewasa dalam menyikapi persoalan dan permasalahan hidup yang mereka alami. Dari kejadian itu mereka menjadi tambah dekat dan saling melengkapi satu sama lain.

END………

_____________________________________________________________________________________________________

Siswi kelas XIB MA Miftahul Ulum Al-Azizah

2 thoughts on “STUDY

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *