Artikel Karya Guru Literasi

Pesantren sebagai Benteng Radikalisme

STRATEGI DAKWAH DALAM MENGHADAPI GERAKAN ISLAM RADIKAL

       Kata Strategi  merupakan suatu istilah yang diadopsi dari kalangan militer, yang merujuk pada penggunaan dan pemanfaatan dana, daya, dan peralatan yang tersedia untuk memenangkan pertempuran. Akan tetapi dewasa ini sesuai dengan perkembangan kehidupan pada abad modern, istilah tersebut ternyata tidak hanya digunakan dalam istilah militer saja, akan tetapi juga digunakan oleh berbagai organisasi non militer tak terkecuali di dalamnya yaitu organisasi masyarakat seperti Nahdlatul Ulama (NU) di dalam pengembangan dakwahnya. Penggunaan stategi tersebut tiada lain dikarenakan dakwah merupakan suatu aktivitas untuk mengajak manusia menuju suatu tujuan yang dalam hal ini tujuan tersebut tiada lain yaitu menuju ke jalan Allah.

     Di sisi lain mengapa dalam berdakwah juga dituntut untuk mampu berbenah diri dalam menyiasati dakwahnya agar apa yang menjadi pesan syar’i dapat diterima oleh mad’u (objek dakwah). Tak terkecuali dalam organisasi yang profit (nirlaba), organisasi dakwah pun jika menginginkan dapat tetap eksis dan survive, maka ia harus mampu menentukan setiap arah kebijakan dan menerapkan strategi yang tepat untuk menjalankan visi dan misinya, serta untuk mengantisipasi segala kemungkinan yang ada, agar apa yang menjadi cita-cita dan tujuan organisasi dapat tercapai.

     Strategi juga dapat dipahami sebagai suatu seni para jenderal dalam menjalankan taktiknya di Medan pertempuran. Dari sudut etimologis, strategi sebuah organisasi dapat diartikan sebagai suatu kiat, cara dan taktik yang dirancang secara sistematis dan terarah dalam melaksanakan fungsi-fungsi organisasi.

      Ketika dakwah telah menggejala dan menuntut aplikasinya, maka setiap elemen masyarakat atau organisasi masyarakat (Ormas) yang mempunyai misi dakwah, mencoba menginterpretasikan ayat Amar makruf nahi mungkar sesuai dengan apa yang mereka pelajari dan ketahui, sesuai dengan aliran dan faham yang mereka anut. Di sinilah awal mula permasalahan yang dimungkinkan dapat menyulut aksi radikal yang berkedok “agama”. Penjelmaan Ormas-ormas yang menampakkan dirinya dengan kajian baik al-Qur’an maupun Hadis secara apa adanya (tekstualis), seperti kelompok yang tergabung dalam Ikhwanul Muslimin Indonesia (IMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Negara Islam Indonesia (NII), pada realitanya kelompok inilah yang sering melakukan aksi-aksi radikal, dan harus diantisipasi, serta ditangani keberadaannya agar tidak menimbulkan aksi yang meresahkan.

      Jika dianalisa di antara penyebab yang menyulut aksi radikalisme yang bernuansa agama, bermula dari persoalan domestik sampai persoalan internasional yang memojokkan kelompok tertentu. Dalam wilayah agama, konsepsi ajaran yang berbeda dengan kenyataan, seperti semakin menjamurnya tempat-tempat hiburan yang digunakan sebagai ajang maksiat, kiai sebagai pemuka agama yang mestinya dihormati akan tetapi malah sebaliknya, seperti pembantaian kiai seperti terjadi di Poso (25 Desember 1998

      Dari pemaparan di atas perlu adanya strategi dakwah yang jitu dalam menangkal aksi-aksi radikalisme baik dari pemerintah yang berwenang dan dari kalangan-kalangan ormas yang mempunayai peranan yang sangat vital dalam memerangi radikalisme. Ada lima cara yang harus dilakukan dalam memerangi radikalisme diantaranya;

Pertama, kontekstual, yaitu Islam dipahami sebagai ajaran yang terkait zaman dan tempat. 

Kedua, toleran, sikap toleran dalam beragama dan toleran terhadap perbedaan penafsiran dapat menumbuhkan kesadaran untuk bersikap. 

Ketiga, menghargai tradisi, Islam dibangun di atas penghargaan pada tradisi lama yang baik, karena sesungguhnya Islam tidak memusuhi tradisi lokal melainkan budaya tersebut dijadikan sebagai sarana dakwah Islam. Hal tersebut seperti yang dilakukan oleh Walisongo dalam penye-baran agama Islam di Indonesia. 

Keempat, progresif, dengan perubahan terhadap praktik keagamaan dimana ia berada.

Kelima, membebaskan, di sini Islam sebagai suatu agama yang dapat menjawab problematika kemanusiaan yang ada secara universal tanpa membedakan agama dan etnik. Dengan semangat pembebasan tersebut, Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin harus siap melawan penindasan, kemiskinan, keterbelakangan, anarki sosial, dan sebagainya.

*oleh: Tholib Aziz, S.H Guru MA Miftahul Ulum Al-Azizah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *